English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Makanan Penyebab Penyakit Alzheimer


Risiko suatu penyakit dapat dikurangi atau bahkan dihilangkan dengan menghindari konsumsi makanan tertentu. Begitu juga dengan penyakit yang identik dengan lansia yaitu alzheimer. Menurut sebuah penelitian, makanan yang sarat lemak jenuh dan gula dapat meningkatkan risiko alzheimer.

Dalam penelitian tersebut, sejumlah partisipan yang makan makanan sarat lemak jenuh (seperti daging) dan makanan dengan indeks glikemi yang tinggi (seperti nasi putih dan roti tawar) dapat menyebabkan peningkatan kadar protein yang disebut dengan beta-amyloid di dalam cairan otak. Padahal beta-amyloid merupakan komponen utama dari plak yang menyebabkan munculnya penyakit Alzheimer.

Sebaliknya, partisipan yang makan makanan rendah lemak jenuh (termasuk ikan dan ayam) serta mengurangi makanan dengan indeks glikemi rendah (seperti gandum utuh) dapat menurunkan kadar beta-amyloid dalam cairan otak.

"Pola makan adalah faktor yang sangat penting dalam menentukan kesehatan otak," terang peneliti Suzanne Craft, profesor ilmu kedokteran dari Wake Forest School of Medicine, Winston-Salem, N.C.

"Jenis makanan yang kita konsumsi dan pola makan tertentu yang kita adaptasi dalam periode yang lama cenderung memberikan dampak yang substansial terhadap otak kita, entah itu melindungi atau meningkatkan risiko penyakit otak seperti alzheimer," tambahnya.

Untuk memastikannya, peneliti melibatkan 47 partisipan dewasa dengan usia rata-rata 60 tahun. Separuh di antaranya mengidap gangguan kognitif ringan, kondisi di mana seseorang mulai terlihat mengalami penurunan kemampuan kognitif seperti masalah daya ingat dan bahasa.

Secara acak partisipan diminta mengadopsi pola makan tinggi lemak jenuh dengan makanan berindeks glikemi tinggi atau pola makan rendah lemak jenuh dengan makanan berindeks glikemi rendah selama empat minggu. Kedua kelompok juga diketahui mengonsumsi kalori total yang sama besarnya. Tak lupa peneliti mengambil sampel cairan otak partisipan di awal dan akhir studi.

Sebelum dietnya dimulai, partisipan yang mengidap gangguan kognitif ringan diketahui memiliki kadar beta-amyloid berbentuk LD (light-depleted) yang lebih tinggi dibandingkan partisipan yang kemampuan kognitifnya normal-normal saja.

Padahal secara umum kadar beta-amyloid berbentuk LD pada orang-orang yang mengidap gangguan kognitif ringan diketahui cukup tinggi. Tak heran jika mereka berisiko tinggi secara genetik untuk terserang alzheimer.

"Normalnya, beta-amyloid ini dapat dibersihkan dari otak. Caranya dengan 'menempelkan' beta-amyloid ini ke sebuah protein yang bernama apolipoprotein E. Tapi jika beta-amyloid-nya tidak 'menempel' pada apolipoprotein E maka ia akan berada dalam bentuk LD (light-depleted) yang bersifat kurang stabil dan cenderung menjadi racun bagi otak. Pada akhirnya hal ini dapat menyebabkan penyakit pada otak," terang Craft seperti dilansir Livescience, Selasa (18/6/2013).

Terbukti, empat minggu kemudian partisipan dengan pola makan tinggi lemak jenuh terlihat mengalami peningkatan kadar beta-amyloid LD-nya, sebaliknya pada partisipan yang pola makannya rendah lemak jenuh, kadar beta-amyloid LD-nya menurun.

Namun studi ini dianggap berskala kecil dan hanya mengamati efek dari pola makan ini dalam periode yang sangat pendek, yaitu hanya satu bulan. Peneliti pun merasa penelitian lebih lanjut masih diperlukan untuk mengetahui apakah peningkatan beta-amyloid dalam penelitian ini benar-benar dapat menyebabkan penyakit alzheimer atau tidak.

Peneliti juga tak dapat memastikan apakah dengan mengubah pola makan bisa memberikan dampak positif terhadap orang-orang yang mempunyai risiko alzheimer secara genetik atau turun-temurun.

"Tampaknya pola makan yang tinggi lemak jenuh dan makanan berindeks glikemi tinggi ini dapat menurunkan kadar hormon insulin di dalam otak. Padahal insulin berperan dalam pembersihan beta-amyloid di dalam otak, sehingga dapat berkontribusi dalam menurunkan risiko alzheimer," pungkas Craft.

Studi ini baru saja dipublikasikan dalam jurnal JAMA Neurology

source : Detik Health


0 komentar:

Posting Komentar