English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Cerpen Mungkinkah Ini Saat Terakhir?


Mungkinkah Ini Saat Terakhir? - Cerpen Cinta

6 Maret 2009 11.163 views 23 Comments
Tililit…. Tililit…. Tililit…. Tililit…. Tililit…. Tililit….Dengan malas Rona menggerakkan tangannya. Ia berusaha meraih handphone yang terletak di atas meja tepat di sebelah tempat tidur dengan mata masih terpejam.
 “Ha..lo …”, sahut Rona dengan perlahan setelah memencet salah satu tombol handphone.
 “Ya ampun Na! Lu baru bangun ya?” tanya Rara.
“Yaaaa, ada apa sih Ra?” sahut Rona dengan mata masih mengantuk.
“Tumben banget lu kesiangan? Emang semalam lu begadang ya?” tanya Rara lagi.
“Iya nyelesain paper yang disuruh Bu Rani. Weker gue rusak, makanya telat bangun,” jelas Rona perlahan.

“Ohhhh….gitu, ya udah! Sekarang lu mandi dan cepat-cepat kemari ada kabar penting!” perintah Rara.
“Kabar apaan sih Ra?” tanya Rona dengan malas karena merasa tidak akan tertarik dengan kabar dari sahabatnya itu.
“Hari ini Dude masuk sekolah Na!” kata Rara dengan tegas.
Rona yang sedari tadi tiduran dan memejamkan mata, sontak kaget dan langsung duduk dengan membelalakkan matanya.

“Serius Ra?” tanya Rona karena masih ragu dengan Rara.
“Gue gak becanda! Makanya buruan lu kemari,” katanya mencoba meyakinkan.
“Ya udah tunggu gue,” jawab Rona dan kemudian meletakkan handphone-nya di atas meja. Dia bergegas mandi dan bersiap-siap ke sekolah.

Dalam perjalanan Rona terlihat gelisah. Pikirannya bercampur aduk antara senang dan tidak. Pak supir yang sedari tadi mengamati Rona merasa heran. Rona memang sudah sangat merindukan sang pacar Dude, tapi ia juga membencinya. Karena sudah tiga bulan terakhir ini Dude tak masuk sekolah. Dude juga tak pernah memberikan kabar. Dan saat Rona mendatangi rumah Dude, pembantunya tak mau memberikan informasi tentang Dude.
Sahabat dan teman dekat Dude sudah ditanyai Rona, tapi tak satu pun yang tahu. Sedangkan wali kelas dan guru-guru tidak mau memberitahukan apapun tentang Dude, padahal mereka sebenarnya tahu segalanya. Bulan pertama dan kedua Rona seakan tak terima dengan kehilangan Dude yang tiba-tiba. Namun di bulan ketiga ia mulai berangsur pasrah.
Mobil yang dikendarai pak sopir berhenti tepat di depan gerbang sekolah, tanpa mengucapkan apa-apa Rona bergegas keluar dari mobil dan berlari ke arah kelas. Pak sopir hanya diam sambil menggeleng-gelengkan kepala. Saat tiba di kelas Rona langsung menghampiri Rara.
“Ra! Lu serius dengan yang tadi kan?” tanya Rona meminta penjelasan Rara.
“Iya Na! tadi Dude datang kemari dan nyariin lu,” jawab Rara.
“Trus lu ngomong apa sama dia?”

“Ya gue bilang aja lu belum datang. Terus dia pergi dan dia balik ke kelasnya,” jelas Rara.
“Berarti dia masuk sekolah lagi dong?” tanya Rona lagi dijawab dengan anggukan oleh Rara.
“Jadi selama ini dia ke mana ya? Lu nggak tanya sama dia Ra?”
“Nggak, gue ngerasa canggung aja udah lama nggak ketemu dia,” jelas Rara.

Mereka berdua pun terdiam dan merasa heran. Namun Rona nggak mau terburu-buru untuk mendatangi Dude. Dia merasa bahwa Dude yang bersalah dan harus menemuinya terlebih dahulu untuk memberikan penjelasan tentang hubungan mereka.
Rona menunggu dengan gelisah, sampai bel masuk pun berbunyi dan Dude belum datang. Kemudian pada jam istirahat Rona memutuskan tidak ikut Rara ke kantin. Karena Rona berfikir Dude akan datang kembali menemuinya. Namun untuk kedua kalinya Rona salah menduga.
“Dude belum kemari Na?” tanya Rara yang sudah kambali dari kantin dengan dua buah minuman di tangannya.
“Belum Ra.,”  menggelengkan kepala dengan wajah kecewa.
“Kenapa ya?” Rara merasa heran diikuti gelengan kepala Rona yang menandakan juga heran.
 ”Tapi lu tenang aja Na, gue yakin nanti pulang sekolah dia pasti nemuin lu,” kata Rara dengan tegas.

Dan ternyata dugaan Rara benar. Dude sudah berada tepat di depan pintu kelas menunggu. Rona berdiri terpaku, bibirnya terasa beku. Sedangkan Dude juga terlihat sangat gugup, seakan tidak siap bertemu Rona.
Namun kerinduannya yang besar kepada Rona mengalahkan ketidaksiapannya. Rara tidak ingin mengganggu percakapan sahabatnya itu, ia tahu banyak hal yang pasti akan mereka bicarakan. Sehingga Rara memutuskan pulang duluan.
“Hai Na,” sapa Dude dengan lembut.
“Hai…,” jawab Rona singkat.
“Apa kabar?” tanya Dude.
“Baik, kamu?” Rona menjawab pelan.
“Lumayan,” jawab Dude
“Aku antar kamu pulang ya? Sekalian ada yang mau aku omongin”, sambung Dude.
Rona mengangguk. Mereka pun pergi meninggalkan sekolah dengan mengendarai motor yang dibawa Dude. Selama di jalan mereka hanya terdiam, tidak seperti suasana dulu yang begitu dihiasi dengan canda. Dude membawa Rona ke sebuah taman di mana dulu mereka sering menghabiskan waktu berdua. Setelah turun dari motor mereka berdua duduk di kursi yang ada di tengah taman.

“Aku mau minta maaf sama kamu Na, karena selama ini aku nggak ngasih kabar ke kamu,” Dude berusaha memulai pembicaraan.
“Kamu sebenarnya ke mana sih? Kamu tahu nggak, aku udah nyariin kamu ke mana-mana,” Rona merasa tidak tahan lagi menyembunyikan perasaannya.
“A….ku, sakit Na!” jawab Dude dengan sangat lambat.
“Sakit?” Rona merasa jawaban Dude bukanlah hal yang aneh tetapi dia justru heran mengapa hal itu harus disembunyikan darinya.

“Tapi kenapa kamu nggak ngasih tau aku, aku kan pacar kamu jadi aku bisa ngerawat kamu.”
“Aku tahu Na, tapi ini nggak segampang itu.”

“Maksud kamu?” Rona semakin terlihat bingung dengan perkataan Dude yang nggak jelas. Dude terdiam, mukanya terlihat ragu untuk mengatakan yang sebenarnya kepada Rona.
“De? Kenapa kamu diam? Maksud kamu apa?” Rona mengguncang badan Dude, memaksa Dude menjelaskan semuanya. Rona merasa sudah cukup untuk bingung selama tiga bulan ini. Sehingga dia tidak ingin menunda lagi mengetahui apa yang terjadi.

“Aku…aku…aku menderita kanker stadium akhir Na,” jelas Dude dengan perlahan.
“Apa?” Rona terlihat sangat terkejut, ia benar-benar nggak menyangka penjelasan Dude akan seserius itu.

“Selama tiga bulan ini aku menghilang, karena mama membawa aku ke Singapura untuk menjalani perawatan. Di sana aku terapi dan aku sempat kritis Na,” Dude melanjutkan penjelasannya.
 ”Sekarang aku hanya punya waktu seminggu, setelah itu aku harus balik ke Singapura untuk perawatan selanjutnya.”

“Ya ampun Dude….kenapa kamu nggak ngasih tahu aku?” keluh Rona dan air mata terlihat jatuh di pipinya yang halus.
“Aku takut setelah mendengar semuanya kamu ninggalin aku. Aku kangen banget sama kamu dan aku takut kehilangan kamu Na.” Dude menutup mukanya dengan tangan. Ia menangis layaknya seorang anak kecil.
Melihat kesedihan pacarnya itu hati Rona hancur. Rona meraih tangan Dude dan memegangnya erat-erat. “Aku cinta sama kamu, dan aku cinta kamu apa adanya, aku nggak bakalan ninggalin kamu,” ujar Rona sambil menatap Dude.
“Aku bakal nunggu kamu, sampai kamu sembuh.”
“Tapi penyakitku semakin parah Na, aku nggak tahu kapan bisa balik lagi. Entah itu tiga minggu, tiga bulan, atau mungkin tiga tahun lagi,” tambah Dude dengan air mata yang terus mengalir.
“Aku nggak peduli, aku bakal nungguin kamu. Asal kamu janji berusaha untuk sembuh demi aku,” tambah Rona.

Dude terharu dengan perkataan Rona. Ia merasa semangat hidupnya kembali lagi. “Aku janji sama kamu, aku akan berusaha untuk sembuh.”
Dude langsung memeluk Rona dengan erat. Sudah lama pelukan hangat itu tidak mereka rasakan. Mereka larut dalam kebersamaan itu. Sejenak mereka melupakan semua kesedihan yang ada. Walaupun sebenarnya Rona tahu semua itu tidak akan mudah nantinya. Tapi ia hanya ingin memberikan semangat penuh untuk Dude, karena hanya itu yang bisa ia lakukan saat ini.
Seminggu sebelum keberangkatan Dude ke Singapura mereka benar-benar menghabiskan waktu bersama. Rona hanya ingin memberikan kenangan yang terindah untuk Dude. Kenangan yang mungkin tidak akan terulang lagi. Kenangan yang juga mungkin terakhir Dude rasakan. Mereka berdua benar-benar sadar akan hal itu. Tapi jauh di dalam lubuk hati Rona, ia berharap ini hanya sepenggal kenangan yang nantinya menjadi memori saat mereka menghadapi masa tua bersama.
 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Cinta Pertama Tidak Pernah Mati

Embun pagi masih merayapi batang daun yang hijau, matahari bersembunyi di balik awan. Namun aku sudah berdiri menatap langit yang masih putih. Hari ini terasa aneh bagiku, biasanya saat ini aku masih terlelap di atas kasur. Tapi karena mata tak bisa terpejam, memaksaku untuk mencari udara segar, menghilangkan rasa gelisah yang selalu menderaku.
Aku gelisah karena rindu. Rindu akan rumah, rindu pada keluarga di kampung, terutama rindu padanya. Aku kuliah di kota dan meninggalkan mereka di sana. Ingin sekali aku berjumpa dengannya. Dia yang telah mengisi relung hatiku selama tujuh tahun.
Di bawah pohon depan kost aku duduk santai sambil menikmati cuaca dingin di pagi hari. Di mana orang-orang masih enggan melepas mimpi indah, apalagi ini ‘kan baru pukul empat, mana ada yang terjaga sepertiku.
Dengan ditemani cappuccino hangat aku terhanyut dalam khayalan yang berisi kenanganku bersamanya. Orang yang pertama kali singgah di hatiku dan mungkin akan menjadi yang terakhir. Dia dua tahun lebih tua dariku. Kami bertemu saat aku masih duduk di bangku SMP. Kami selalu pulang bareng karena rumah kami berdekatan. Awalnya aku tak ada rasa dengannya, tapi karena kami sering berjumpa di rumah maupun di sekolah membuat rasa ini muncul. Kedekatan kami pun juga karena ayahnya adalah orang bawahan ayahku.
Waktu itu aku masuk ke SMA yang berbeda dengannya, namun setelah tiga bulan, aku tak betah. Kemudian ayahku menyuruh memasukkanku ke sekolah yang sama dengannya. Ia menjadi senang karena kami bisa satu sekolah lagi. Dan kami pun menjadi tambah dekat. Lalu lama-kelamaan hubunganku ini diketahui oleh ayahku. Dia sangat marah. Memang ayah tidak setuju kalau sampai aku menyukainya. Ketika mendengar kabar dari sekolah bahwa kami sering berduaan, ayah lalu menyuruh orang bayaran untuk memberi pelajaran padanya. Tapi hal itu tak membuat ia berhenti menemuiku. Kami pun bertemu secara diam-diam.
Suara gema adzan membawaku kembali ke alam nyata.
Huuh… Aku ingin sekali bertemu dengannya. Tapi kenapa ia tidak datang, padahal ia sudah janji akan datang Sabtu kemarin. Apa yang terjadi dengannya?
***
“Lyza… Lyza!” aku mendengar orang memanggilku.
“Yola…ada apa?” ternyata cewek tambun yang se-kost denganku datang dengan nafas terengah-engah.
“Lyz…eng…itu aku mau bilang..itu…Ibumu sakit!”
“Apa? Masak iya, tahu dari mana?” aku langsung terkejut mendengar Ibuku sakit.
“Dari kampung, ada yang menelponku. Ng…kita ke kampung sekarang!” perintahnya.
“Aneh, kok gak ada yang beritahu aku?”
“Udahlah, pokoknya kita ke kampung sekarang.” Tanpa menunggu jawabanku, Yola langsung menarikku pulang. Lalu kami pun bergegas ke kampung.
***
Setibanya di kampung, aku merasakan suatu keganjilan di rumah pacarku. Kenapa berdiri sebuah tenda biru? Kebetulan aku dan Yola lewat depan rumah pacarku dan melihatnya di depan teras. Sewaktu ia melihatku, ia langsung lari masuk ke dalam rumah. Hatiku bertanya-tanya kenapa ia aneh begitu.
Sebelum tiba di rumah aku bertemu dengan Ibu pacarku di jalan. Aku pun langsung bertanya padanya, ada acara apa di rumahnya. Ibunya langsung menceritakan semuanya dan tanpa disadari aku menangis. Tiba-tiba pacarku datang dari arah belakang. Dia meminta maaf kepadaku, dia tidak tahu harus berbuat apa lagi. Dia juga bilang kalau ia sangat mencintaiku. Kemudian di depan kedua orang tuanya kami berpelukan dan sama-sama menangisi akhir dari kisah kami.
Sesampainya di rumah aku langsung marah-marah tak karuan. Kedua orang-tuaku heran melihatku bertingkah aneh seperti itu. Yola lalu memberitahu mereka kejadian yang memang sudah ia ketahui sebelumnya. Orang-tuaku pun menasehatiku untuk mencari pasangan yang lebih sepadan dan lebih setia. Aku sangat tidak bisa menerima keputusannya itu.
Aku kembali lagi ke kota setelah mengetahui ternyata Ibuku baik-baik saja. Semenjak itu aku menjadi bertambah aneh, emosiku sering tak terkendali, setiap melihat sesuatu yang tajam, durian misalnya, ingin sekali kutancapkan ke kepalaku. Teman-temanku pun merasa risih atas sikapku, karena setiap teman laki-laki mereka ke kost aku selalu memarah-marahi mereka tanpa sebab. Pernah teman-temanku mengikatku dengan selimut di kursi karna aku mengamuk dan ingin bunuh diri.
Suatu ketika ada seorang pria yang bekerja di rumah sakit jiwa di sekitar kost, dia  teman dari salah satu temanku. Dia melihatku membentak-bentak temanku tanpa alasan, sikapku itu sudah dimaklumi teman-temanku yang lain. Dan ketika aku membanting pintu, ia terkejut dan bertanya ada apa dengan gadis yang menarik perhatiannya.
Setelah mengetahui apa masalahku, ia pun menemuiku. Aku marah dengan kehadirannya yang tanpa izin. Lalu pria itu menyembur mukaku dengan air, dia kira aku kesurupan. Tapi ketika ia salah paham, lantas ia tertawa. Kemudian ia menarik tanganku, mengajakku duduk di teras. Tiba-tiba saja aku mengeluarkan semua masalah yang membebani hatiku dan aku menangis sejadi-jadinya di depan orang yang baru kukenal. Setelah selesai bercerita, ia menyuruhku mandi bersihkan diri lalu mengajakku makan bakso di sekitar situ. Entah mengapa kalau berada di sampingnya hatiku tenang sekali dan kehadirannya itu membuatku melupakan segala masalahku.
Seminggu kemudian di mana aku sudah kembali normal, aku mendapat kabar kalau mantan pacarku akan segera menikah.
“Lho, Lyza kok gak dapat undangannya,” tanyaku pada Yola.
“Dia gak mau ngasih tahu kamu, Lyz. Takutnya kamu ngedrop lagi.” Namun Randi, pria yang minggu lalu menenangkanku malah mengajakku ke sana.
“Gak ah mas, malas bolak-balik ke sana.”
“Kenapa, takut? Katanya gak ada rasa lagi.” Karena itu aku terpaksa pergi pada esoknya ke pesta pernikahannya Dicky.
***
Di pesta pernikahannya itu, aku sudah bisa membiasakan hatiku untuk melepasnya. Saat aku bersalaman dengannya, ia menangis. Lalu ia melihat mas Randi dan menyuruhnya untuk menjagaku serta jangan pernah menyakitiku. Sebenarnya aku masih sangat mencintainya. Tapi kami tidak ditakdirkan untuk bersama selamanya. Karena sesuatu yang membuatnya terpaksa menikah dengan orang yang tidak dicintainya sama sekali.
Ayahku-lah yang sangat tidak menyukai hubungan kami. Waktu kak Dicky tak bisa menemuiku pada hari Sabtu, ayah menjumpainya dan keluarganya tanpa sepengetahuanku. Ayah memaki-makinya dan memarahi ayahnya. Ayah mengatakan kalau mereka tak pantas. Ayah sangat menghargai statusnya yang lebih tinggi dari ayahnya. Karena sakit hati orangtuanya lalu mencarikan jodoh yang lain untuknya.
Aku pun mengerti keadaan yang harus kuterima. Dan untuk melupakannya ku serahkan kembali semua yang pernah ia berikan padaku termasuk puisi-puisinya. Itulah mengapa istrinya heran dan bertanya kepadaku hadiah apa yang telah kuberikan kepadanya sehingga istrinya tidak boleh membukanya. Lalu masalah itu kuselesaikan dengan segera. Kutemui ia lalu menyuruhnya untuk memperlihatkan hadiah dariku pada istrinya.
“Untuk apa disembunyikan, lihatkanlah hadiah itu pada istri kakak biar dia tenang, adek gak mau ada masalah lagi di antara kita.” Dengan berat hati ia perlihatkan sebuah kotak musik, kalung dan sebagainya pada istrinya.
Semenjak itu aku jarang bertemu dengannya, tapi kami masih berkomunikasi seperti biasa dalam jarak jauh, hingga sekarang.


0 komentar:

Posting Komentar